Musim panas ekstrem pada tahun lalu kemudian disusul hujan deras, menyebabkan kerusakan parah pada tanaman kol.
Situasi ini disebut media sebagai cabbage shock, karena harga kol melonjak hingga lebih dari 3 kali lipat dari harga normal, menurut Kementerian Pertanian Jepang.
Melansir kantor berita AFP pada Jumat (24/1/2025), harga kol di pasar swalayan kini sangat mahal.
“Kol ukuran setengah kepala dulunya sekitar 100 yen (Rp 9.000) per buah, tetapi sekarang harganya mencapai 400 yen (Rp 36.000),” menurut Katsumi Shinagawa, chef pemilik restoran di Jepang.
Sebuah supermarket di Hyogo bahkan menjual kol dengan harga fantastis, yaitu 1.000 yen (Rp 90.000) per kol sehingga memicu kekhawatiran konsumen.
“Cuacanya sangat panas sehingga beberapa tanaman kol terbakar hingga mati. Panasnya mengeringkan tanaman dan membuatnya layu,” ujar Morihisa Suzuki dari federasi koperasi pertanian di Aichi, salah satu daerah penghasil kol utama di Jepang.
Ia juga menambahkan bahwa hasil panen di Aichi turun hingga sekitar 30 persen akibat cuaca ekstrem tersebut.
Fenomena ini juga menjadi bahan perbincangan di media sosial.
“Saya tidak pernah membayangkan kol akan menjadi sangat mahal hingga terasa seperti makanan mewah,” ujar salah satu unggahan pada X.
Baca juga:
Banyak restoran mengurangi porsi sayuran tersebut, termasuk milik chef Katsumi Shinagawa.
Di restoran Katsukichi milik chef Katsumi Shinagawa, kol gratis biasanya menjadi pelengkap tonkatsu.
Namun, dengan harga kol yang melonjak, restoran harus mengurangi porsi penyajian kol.
“Saya sudah siap menghadapi kenaikan harga tepung, tetapi tidak untuk kol,” kata Shinagawa.
Ia menggambarkan bahwa tonkatsu dan kol seperti teman yang tidak terpisahkan.
Meski menghadapi tekanan biaya yang besar, Shinagawa memilih untuk tidak membebankan kenaikan harga kepada pelanggannya.
Selain kol, kenaikan harga juga terjadi pada selada, daun bawang, lobak Jepang, serta bahan makanan lain seperti beras.
Harga beras naik hingga 64,5 persen pada Desember 2023 dibandingkan tahun sebelumnya, telur juga mengalami kenaikan akibat wabah flu burung.
Inflasi yang terus meningkat, ditambah lemahnya yen, kekurangan tenaga kerja, dan naiknya biaya transportasi, menciptakan tantangan besar bagi restoran.
Data dari Teikoku Databank menunjukkan bahwa Jepang mencatat rekor 894 kebangkrutan restoran pada tahun lalu.
Hal itu efek dari inflasi, pelemahan yen, dan berakhirnya subsidi pemerintah pascapandemi.
View this post on Instagram