Menurut survei terbaru dari perusahaan riset kredit Teikoku Databank Jepang, kebangkrutan perusahaan di Jepang melonjak 22 persen dari tahun ke tahun ke level tertinggi dalam satu dekade pada paruh pertama 2024.
Melansir Xinhua pada Minggu (21/7/2024); beberapa faktor penyebabnya adalah adanya peningkatan biaya, kekurangan tenaga kerja, dan berkurangnya dukungan finansial.
Jumlah total kebangkrutan dari Januari hingga Juni mencapai 4.887 yang menjadikannya angka tertinggi sejak 2014, kata Teikoku Databank Jepang dalam laporan daring terbarunya.
Baca juga: Pemerintah Jepang Sepakat Naikkan Upah Minimum 50 Yen, Jadi Rp 112.000-an per Jam
Menurut data tersebut; industri jasa di Jepang memiliki jumlah terbesar yaitu 1.228, diikuti oleh ritel sebanyak 1.029, dan konstruksi dengan 917 perusahaan.
Perusahaan kecil dan mikro adalah yang paling terdampak selama periode tersebut karena "zero-zero loans" atau pinjaman tanpa bunga dan tanpa agunan telah ditarik.
Pinjaman tanpa bunga itu disediakan oleh sektor swasta dan lembaga keuangan yang berafiliasi dengan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Lanskap ekonomi semakin rumit akibat depresiasi yen yang terus berlanjut, di tengah melonjaknya biaya dan meningkatnya kekurangan tenaga kerja.
Teikoku memperkirakan bahwa di samping konsumsi pribadi yang lesu, jumlah kebangkrutan perusahaan diperkirakan akan terus meningkat, mungkin melebihi 10.000 sepanjang 2024.
Pada Juni saja, total 807 perusahaan Jepang memulai proses likuidasi hukum yang menandai bulan ke-26 berturut-turut pertumbuhan tahun-ke-tahun.
Baca juga: Uang Kertas Yen Jepang Baru, Dilengkapi Hologram 3D untuk Perangi Pemalsuan