Penyelenggaraan pada malam hari dengan tata cahaya yang tertata apik membuat suasana pertunjukan terasa magis.
Bahkan disebut-sebut mampu membawa penonton “merasakan Bali” tanpa harus meninggalkan Tokyo.
Festival ini juga menyuguhkan drum tradisional Jepang “Shihi Odori” serta paduan suara tradisional Georgia dan Bulgaria.
Executive Director Geinoh Yamashirogumi, Akira Yajima, menjelaskan bahwa Festival Kecak lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap arus modernisasi yang dianggap menggeser nilai-nilai budaya tradisional.
Dengan tema tahun ini “A Festive Space Where Living Brains Outshine AI”, festival ini menempatkan Tari Kecak sebagai bentuk seni yang menggambarkan keindahan koordinasi otak manusia, bukan mesin.
Suara, ritme, dan gerakan kolektif yang ditampilkan dalam Kecak dianggap sebagai bentuk ekspresi terdalam dari interaksi manusia yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Yajima menyebut bahwa semangat kolektif dan kesadaran budaya inilah yang ingin dihadirkan melalui festival ini sejak pertama kali digelar pada 1976.
Kini, puluhan tahun kemudian, Geinoh Yamashirogumi tetap konsisten menjadikan seni Bali sebagai pusat dari festival tahunan mereka.
KBRI Tokyo menilai festival ini berhasil menghadirkan kekayaan budaya Indonesia, khususnya Bali, lewat musik, tari, dan tradisi mendongeng.
Geinoh Yamashirogumi Kecak Festival merupakan simbol kolaborasi budaya dan inovasi artistik yang mampu mempererat pemahaman antarbangsa.
KBRI Tokyo juga menyatakan siap terus mendukung kegiatan serupa yang mampu memperkuat hubungan budaya antara Indonesia dan Jepang.
Festival ini dianggap sebagai ruang yang menghadirkan kerukunan budaya dan inspirasi kolaboratif bagi kedua bangsa.
View this post on Instagram