Nama ini merujuk pada fakta bahwa bunga higanbana sering mekar saat ekuinoks musim gugur, periode yang dikenal dengan sebutan Ohigan di Jepang.
Ohigan adalah acara tradisional yang dilaksanakan dua kali dalam setahun, pada Maret dan September, yang bertepatan dengan ekuinoks musim semi dan musim gugur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekuinoks adalah fenomena ketika panjang siang dan malam hampir sama di seluruh dunia, yang diperkirakan terjadi sekitar tanggal 21 Maret dan 23 September.
Dalam konteks budaya Jepang, Ohigan berakar dari filosofi Buddha dan kepercayaan tradisional Jepang kuno.
Dalam ajaran Buddha, higan merujuk pada dunia akhirat atau surga yang diyakini terletak di sebelah barat.
Oleh karena itu, selama tiga hari di sekitar ekuinoks, diyakini bahwa dunia orang yang masih hidup berada paling dekat dengan dunia para leluhur yang telah meninggal.
Selama periode ini, banyak orang Jepang yang mengunjungi makam untuk memberikan penghormatan kepada roh leluhur mereka.
Bunga higanbana di Jepang memiliki makna yang cukup dalam, terkait dengan perpisahan, kematian, dan pengunduran diri.
Bunga ini sering ditemukan di dekat kuburan dan memiliki sifat beracun, yang semakin memperkuat asosiasinya dengan kematian.
Selain itu, warna merah bunga higanbana yang mencolok sering kali memunculkan gambaran darah, menambah kesan dramatis dan mistis pada bunga ini.