OhayoJepang - Apakah ada cara untuk menjadikan omotenashi, konsep keramahtamahan tradisional Jepang yang dibanggakan khalayak Jepang, menjadi sarana untuk memperbaiki perilaku para wisatawan?
Baca juga: Jepang Ajarkan Tenggang Rasa antara Turis dan Warga Lokal, Ini Caranya
Untuk mengatasi kesalahpahaman antara para wisatawan dan khalayak Jepang, Biro Pariwisata KANSAI membuat tiga video yang direkam di tiga setting yang berbeda.
Pada akhirnya, dari semua kunjungan dan interaksi warga serta budaya, baik tuan rumah dan wisatawan berbagi tujuan yang sama: mengagumi keindahan Negeri Sakura.
Berikut isi salah satu videonya:
Di bagian awal video ini, seorang perempuan asing sedang bersembahyang di sebuah kuil. Namun, di sekelilingnya, terlihat beberapa perilaku yang tak terpuji.
Ada seorang pria yang tengah menelpon. Ada juga orang yang ngobrol dengan suara lantang serta seorang wanita juga minum di sana.
Kemudian, ada seorang pria memakai topi dan orang-orang yang menghalangi tangga ke kuil dengan koper-koper mereka.
Lalu, ada dua perempuan yang berswafoto walaupun ada tanda larangan. Serta seorang pria yang meletakkan minumannya di sisi tangga kuil.
Seorang pria Jepang menyaksikan kejadian ini dan melontarkan komentar: "Mereka terlihat tidak beradab. Biar kuterawang pikiran mereka."
Lalu, ia mengeluarkan teropong monokular "sakti"nya.
Ternyata, kita mengetahui bahwa pria yang meletakkan minumannya di sisi tangga kuil tahu ia tak boleh membawa minuman ke kuil. Namun, ia tak tahu di mana harus membuangnya.
Para perempuan yang berswafoto baru tahu kalau ada larangan foto. Perempuan yang ngobrol dengan lantang hanya sedikit terbawa suasana dan dalam pikirannya mereka menyesal sekali.
Sang tokoh utama, perempuan Perancis yang tengah sembahyang, kecewa karena ia mengharapkan kuil itu menjadi tempat yang tenang.
Terakhir, pria yang tengah menelpon itu ternyata sedang meminta izin pada atasannya karena ia sedang berada di kuil dan tak bisa menerima panggilan.
Tiga video yang diunggah oleh Biro Pariwisata KANSAI ini memiliki awalan yang menggambarkan stereotip turis buruk saat berkunjung ke kuil.
Namun, semua mulai terungkap dengan bagian akhir yang mencengangkan.
(Alfonsus/Sumber: Japan Forward)