Pada hari itu, dipercaya kalau “pintu neraka terbuka” dan arwah leluhur mulai pulang agar tiba tepat di hari pertama Obon, tanggal 13.
Supaya para arwah tidak kelaparan di jalan, masyarakat meletakkan manjū di atas tutup tungku sebagai bekal untuk mereka.
Proses membuat komugi manjū terbilang sederhana. Tepung terigu dicampur soda kue, lalu diayak hingga halus.
Selanjutnya, adonan dicampur larutan gula sampai mencapai tekstur sedikit lebih lunak dari cuping telinga.
Pasta kacang merah azuki kemudian dibungkus adonan, lalu dikukus hingga matang.
Seiring waktu, variasi mulai bermunculan. Ada yang menambahkan pasta labu, bayam, atau shungiku (daun krisan) pada kulitnya untuk memberikan warna dan aroma berbeda.
Kalau memakai gula merah sebagai pengganti gula putih, manjū ini disebut cha manjū atau manjū cokelat.
Isian pun tak melulu azuki, beberapa orang menggunakan pasta ubi jalar atau miso an untuk menciptakan rasa baru yang tetap mempertahankan ciri khas lokal.
Di tengah arus modernitas, upaya menjaga tradisi komugi manjū tetap berjalan.
Di desa-desa Tochigi, pasar-pasar lokal masih menjual Komugi manjū buatan tangan.